Senin, 19 Oktober 2009

Perawat dan Masalah Hukum, Sebuah Tantangan Baru


JEMBER - Bola panas terus menggelinding terkait dugaan adopsi tak prosedural yang terjadi di RSUD dr Soebandi yang kini kasusnya sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jember. Kemarin, puluhan perawat yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jember bersama Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jember ngluruk ke DPRD.

Mereka mengadukan soal dua bidan dan satu staf administrasi RSUD yang jadi "korban" dalam kasus dugaan adopsi ilegal hingga ketiganya dijadikan terdakwa.

Mereka menilai, dua bidan, yakni Rini Dri Retnowati dan Riningsih Hidayati yang bertugas di RSUD dr Soebandi Jember hanya korban atas kejadian tersebut. Alasannya, bidan tersebut telah menjalankan tugas sesuai prosedur yang berlaku. Sedangkan soal kebijakan rumah sakit, seharusnya menjadi tanggung jawab manajemen RSUD dr Soebandi Jember.

"Kami ke sini agar dewan yang terhormat memberikan perlindungan dan pengayoman bagi perawat dan bidan. Kami tidak ingin kasus yang menimpa kami di RSUD dr Soebandi terjadi lagi," kata Said Mardijanto Ns MM, ketua PPNI.

Saat mendatangi gedung dewan, mereka diterima langsung wakil ketua Komisi D DPRD Jember Marduan bersama tujuh anggotanya. Menurut Said Mardijanto, dua bidan yang berposisi sebagai kepala ruangan Nifas dan Kepala Ruang Perinatologi RSUD dr Soebandi Jember sudah bekerja sesuai prosedur.

"Mereka sudah bertugas sesuai aturan sebagai bidan," ungkapnya. Karena itu, sebagai anggota profesi perawat dan bidan PPNI dan IBI Jember berharap ada perlindungan dan pengayoman hukum terhadap profesi perawat dan bidan di Jember.

Tak jauh beda diungkapkan Dwi Ismail, perawat lainnya. Dia menilai, ada kejanggalan dalam proses hukum yang menimpa Rini Dri Retnowati, Riningsih Hidayati, dan Sri Rahayu. "Saya melihat ada sesuatu yang janggal. Padahal, mereka sudah bekerja dengan baik sesuai prosedur yang berlaku," kata Dwi Ismail.

Dia menjelaskan, masalah kebijakan rumah sakit tentunya menjadi tanggung jawab manajemen RSUD dr Soebandi Jember. "Mereka bukan dalam kapasitas mengambil kebijakan. Yang saya tahu, birokrasi rumah sakit sudah baik," ujarnya.

Dikatakan, para bidan dan perawat, bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) masing-masing. "Apa yang dilakukan bidan sudah di-acc (persetujuan, Red) wakil direktur dan direktur," ungkapnya. Terlebih, para bidan tersebut sempat membantu menyarankan kepada pihak yang hendak mengadopsi untuk mengurus persyaratan ke Dinas Sosial (Dinsos) Pemkab Jember.

Mendengar penjelasan tersebut, Abdul Ghafur, mantan ketua komisi A yang kini menjadi anggota Komisi D DPRD Jember angkat bicara. "Persoalan hukum sebenarnya ada di komisi A. Karena saya termasuk dan saya yang menggendong bayi di rumah sakit, maka saya akan ikut bicara," kata Abdul Ghafur.

Dengan suara keras, Abdul Ghafur menyesalkan aksi PPNI dan IBI yang dinilai terlambat ikut membantu dua bidan dan satu staf administrasi yang kini jadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jember. "Kenapa baru sekarang. Dulu ketika saya hendak menemui dua bidan tidak diizinkan," ujarnya.

Padahal, sambung Politisi PAN Jember ini, dia juga tidak ingin dua bidan jadi korban dalam kasus dugaan adopsi tak prosedural tersebut. Menurut Ghafur, kasus tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pihak manajemen RSUD dr Soebandi Jember. "Saat saya ditanya wartawan, saya minta direktur RSUD dr Soebendi turun," ungkapnya.

Ghafur memandang, dua bidan yang kini jadi terdakwa hanya jadi korban saja. "Saya menyesal, kenapa saat saya hendak menemui bidan di polres tidak mau. Apanya yang ditakutkan," terangnya. Padahal, kata Ghafur, dirinya hendak membela para bidan agar tidak jadi korban dalam kasus dugaan adopsi bayi tak prosedural tersebut.

"Dulu sudah saya katakan, masalah ini diselesaikan dengan kekeluargaan. Tapi malah LSM dituntut karena membela bayi," ujarnya. Seandainya, lanjut Ghafur, saat itu dirinya bisa bertemu, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan jalur kekeluargaan. Bukannya malah dibawa ke ranah hukum.

"Sekarang sudah saling gebuk di ranah hukum. Saat di hadapan hukum, kita sama," ujarnya. Karena itu, menurut dia, kini tinggal menunggu proses hukum yang sedang ditangani PN Jember. Ini mengingat, lanjut dia, DPRD Jember tidak bisa ikut campur dalam proses hukum. Sebab, masing-masing memiliki kewenangan.

Ghafur menegaskan, dirinya siap bertanggung jawab dan siap jadi tameng atas kejadian di RSUD dr Soebandi Jember. "Panjenengan-panjenengan minta saya seperti apa? Saya siap untuk bertanggung jawab. Dalam pikiran saya, direktur yang seharusnya bertanggung jawab," paparnya.

Tak kalah tegas, pernyataan senada dilontarkan Holil Asyari, anggota komisi D dari Partai Golkar. Dia juga melihat, kesalahan berada di direktur RSUD dr Soebandi Jember. "Yang keliru adalah direktur. Yang membuat kebijakan adalah direktur," ungkap Holil Asyari.

Menurut dia, seharusnya yang bertanggung jawab tidak hanya bawahannya. "Kalau yang salah direktur, jangan bidannya yang masuk penjara. Kalau perlu direkturnya," imbuhnya. Secara moral, lanjut Holil, dirinya siap membela yang benar.

Ambar Listiani, anggota komisi A yang juga mantan pengacara menyarankan kepada PPNI dan IBI Jember untuk koordinasi dengan pengacara ketiga terdakwa. "Silakan memberikan masukkan kepada pengacara terdakwa. Itu bisa jadi bahan pleidoi," ujarnya. Dia juga menegaskan, DPRD Jember tidak bisa melakukan intervensi apa pun terhadap kasus yang sudah masuk ke PN Jember.

Sementara itu, Suparman, pengurus PPNI lain menjelaskan, aktivitas bidan di RSUD dr Soebandi sudah sesuai dengan kebijakan manajemen. "Apa yang kami lakukan sesuai dengan kebijakan rumah sakit," ungkap Suparman. Maka dari itu, pihaknya berharap, para bidan dan perawat mendapatkan perlindungan dan pengayoman terhadap profesi yang digelutinya.

"Kami bekerja tanpa pamrih. Kami tidak membedakan apakah pasien itu miskin atau kaya," ungkap Suparman. Bahkan, menurut dia, perlunya protap bagi para bidan dan perawat dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat.

Kukuh Hidayat, perawat lainnya menambahkan, pihaknya mengadu ke DPRD Jember bukan dalam rangka meminta direktur RSUD dr Soebandi turun. "Ini perlu dicatat wartawan. Kami ke sini bukan untuk minta direktur RSUD turun," tegasnya.

Dia menjelaskan, kehadirannya ke DPRD Jember untuk minta perlindungan hukum dan pengayoman dalam menjalankan profesinya. "Ini jangan disangkutpautkan dengan politik dan proses hukum yang berjalan," ungkapnya.

Lontaran Kukuh Hidayat itu langsung disambar Abdul Ghafur. "Kami tidak ingin ada `brutus` di antara kita. Jangan dibuat, semangat kami diturunkan lagi," ujarnya. Dia berharap, PPNI dan IBI bersatu untuk memperjuangkan anggotanya. Bahkan, dia menyatakan kesiapannya untuk ikut demo ke PN Jember. (aro)

Radar Jember
www.jawapos.com
[ Sabtu, 17 Oktober 2009 ]
Perawat-Bidan Ngluruk Dewan
Minta Perlindungan Hukum Terkait Kasus Dugaan Adopsi Tak Prosedural

0 komentar:

Posting Komentar